DIPERSILAHKAN MENYEBARKAN ARTIKEL BLOG DENGAN MENYERTAKAN LINK SUMBERNYA

Rabu, 16 September 2015

Menelisik Keamanahan Abu Ubaidah Iqbal (3)

DUA JUBAH KEDUSTAAN ABU UBAIDAH IQBAL
BERLABEL PEMBAHASAN ILMIAH [2]


Oleh: Abu Usamah Adam bin Sholih bin
Ubaid Al-Bajani Alu Iskandar Alam


الحمد لله و الصلاة و السلام على رسول الله وأشهد ألا إله إلا الله و أشهد أن محمدا عبده ورسوله أما بعد

Telah berlalu pada tulisan sebelumnya tentang bukti otentik kepalsuan sosok Abu Ubaidah Iqbal bin Damiri Al-Jawy dalam "pembahasan ilmiahnya", bagaimanakah syariat meninjau perbuatan semacam itu dan bagaimanakah penjelasan salaf terhadap tindakan rendah semacam itu ?! Mari kita bahas secara ringkas dalam keterbatasan waktu dan tempat.

Wahai ikhwah sekalian yang semoga dimuliakan Allah,


Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,

ﻻَ ﺗَﺤْﺴَﺒَﻦَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﻔْﺮَﺣُﻮﻥَ ﺑِﻤَﺎ ﺃَﺗَﻮﺍْ ﻭَّﻳُﺤِﺒُّﻮﻥَ ﺃَﻥ ﻳُﺤْﻤَﺪُﻭﺍْ ﺑِﻤَﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﻔْﻌَﻠُﻮﺍْ ﻓَﻼَ ﺗَﺤْﺴَﺒَﻨَّﻬُﻢْ ﺑِﻤَﻔَﺎﺯَﺓٍ ﻣِّﻦَ ﺍﻟْﻌَﺬَﺍﺏِ ﻭَﻟَﻬُﻢْ ﻋَﺬَﺍﺏٌ ﺃَﻟِﻴﻢٌ
"Janganlah sekali-kali kamu menyangka, bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah. Mereka raih dan mereka senang supaya dipuji terhadap perbuatan yang tidak mereka kerjakan, janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih" (QS.Ali Imran 188)

Asy-Syaikh As-Sa'di rahimahullah berkata dalam tafsirnya, "mereka adalah orang-orang yang merasa senang dipuji dengan suatu kebaikan yang tidak mereka perbuat dan merasa senang dipuji dengan suatu kebenaran yang tidak mereka katakan, maka orang-orang seperti itu mereka telah mengumpulkan antara perbuatan yang buruk dan perkataan yang buruk sekaligus dan mereka merasa senang dengan yang demikian dan mereka senang dipuji-puji atas perbuatan baik yang tidak mereka kerjakan"

Al-Imam Al-Baghowi rahimahullah menukilkan dalam tafsirnya sebuah perkataan dari 'Ikrimah, "bahwasanya ayat di atas turun berkaitan dengan seorang bernama Finhas dan Asy'a dan selain keduanya dari kalangan orang sholih, bahwasanya mereka merasa senang atas penyesatan mereka terhadap manusia, serta persangkaan manusia berupa penisbahan terhadap mereka akan keilmuan padahal mereka sebenarnya bukan termasuk orang-orang yang berilmu.

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya, "yang dimaksud pada ayat di atas adalah orang-orang yang riya' yang memperbanyak dirinya dengan sesuatu yang tidak dia miliki, sebagaimana datang dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim bahwasanya Rasulullah sholallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda,

ﻣﻦ ﺍﺩﻋﻰ ﺩﻋﻮﻯ ﻛﺎﺫﺑﺔ ﻟﻴﺘﻜﺜﺮ ﺑﻬﺎ ﻟﻢ ﻳﺰﺩﻩ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻻ ﻗﻠﺔ 

“barangsiapa mengaku dengan pengakuan dusta dalam rangka untuk memperbanyak diri dengan pengakuan tersebut maka Allah tidaklah akan menambahkan kepadanya melainkan kesedikitan”

Dan di dalam hadits yang lain Rasulullah sholallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda,

 ﺍﻟﻤﺘﺸﺒﻊ ﺑﻤﺎ ﻟﻢ ﻳﻌﻂ ﻛﻼﺑﺲ ﺛﻮﺑﻲ ﺯﻭﺭ 

“orang yang merasa kenyang dengan sesuatu yang tidak dimilikinya bagaikan seorang yang mengenakan dua pakaian kedustaan”

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

ﻷﻧﻪ ﻛﺬﺏ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻪ ﺑﻤﺎ ﻟﻢ ﻳﺄﺧﺬ ، ﻭﻋﻠﻰ ﻏﻴﺮﻩ ﺑﻤﺎ ﻟﻢ ﻳُﻌﻂِ ، ﻭﻛﺬﻟﻚ ﺷﺎﻫﺪ ﺍﻟﺰﻭﺭ ، ﻳﻈﻠﻢ ﻧﻔﺴﻪ ، ﻭﻳﻈﻠﻢ ﺍﻟﻤﺸﻬﻮﺩ ﻋﻠﻴﻪ

"-maksud mengenakan dua jubah kedustaan- Dikarenakan dia telah berdusta terhadap dirinya sendiri terhadap sesuatu yang tidak diraihnya dan berdusta terhadap orang lain dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya " [Fathul Bari jilid 9 hal 318]

Tindakan yang demikian di dalam bidang ilmu mustholah hadits lebih dekat kepada permasalahan sirqotul hadits / pencurian hadits, walaupun ulama ahli hadits memaksudkan istilah sirqotul hadits kepada makna yang lebih khusus.

Pencurian terhadap sebuah riwayat memiliki beberapa bentuk :

Al-Imam As-Sakhowi dalam fathul mughits mengatakan setelah sebelumnya beliau menjelaskan tentang tingkatan jarh, beliau menempatkan  pencuri hadits pada tingkatan yang ketiga dalam jajaran para pendusta, kemudian beliau menukil ucapan Al-Imam Adz-Dzahabi

ﻭﻟﻴﺲ ﻛﺬﻟﻚ ﻣﻦ ﻳﺴﺮﻕ ﺍﻷﺟﺰﺍﺀ ﻭﺍﻟﻜﺘﺐ ﻓﺈﻧﻬﺎ أﻧﺤﺲ ﺑﻜﺜﻴﺮ ﻣﻦ ﺳﺮﻕ ﺍﻟﺮﻭﺍﺓ

"Dan bukanlah yang dimaksud dengan pencurian hadits (dalam istilah mustholah) yaitu orang yang mencuri lembaran maupun kitab-kitab karena sesungguhnya yang demikian itu lebih parah dibanding pencurian para perawi (mencuri hadits, dalam istilah mustholah) "

Berkata Ustadz 'Ishom Hadi :

ﻟﻤﺎ ﻛﺜﺮ ﺍﻟﻠﻐﻂ ﺣﻮﻝ ﻣﺎ ﻳﻔﻌﻠﻪ ﺑﻌﺾ ﺇﺧﻮﺍﻧﻨﺎ ﻣﻦ ﻧﻘﻞ ﻟﻜﻼﻡ ﺩﻭﻥ ﺃﻥ ﻳﻌﺰﻭ ﺫﻟﻚ ﺇﻟﻴﻬﻢ، ﺳﺄﻟﺖ ﺷﻴﺨﻨﺎ ﻫﻞ ﻫﺬﻩ ﺳﺮﻗﺔ ﺃﻡ ﻻ ؟

.ﻓﻘﺎﻝ ﺷﻴﺨﻨﺎ : ﻧﻌﻢ ﻫﻮ ﺳﺮﻗﺔ ، ﻭﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺷﺮﻋﺎً ؛ ﻷﻧﻪ ﺗﺸﺒّﻊ ﺑﻤﺎ ﻟﻢ ﻳﻌﻂ ، ﻭﻓﻴﻪ ﺗﺪﻟﻴﺲ ﻭﺇﻳﻬﺎﻡ ﺃﻥ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﺃﻭ ﺍﻟﺘﺤﻘﻴﻖ ﻣﻦ ﻛﻴﺲ ﻋﻠﻤﻪ.

"tatkala banyak terjadi perbincangan terkait apa yang dilakukan para ikhwah kita berupa menukil sebuah perkataan tanpa menyandarkannya kepada pengucapnya, aku bertanya kepada syaikhuna -asy-syaikh Al-Albani- apakah tindakan yang demikian termasuk sebuah pencurian ataukah tidak ?

Maka asy-syaikh Al-Albani rahimahullah menjawab :

“Ya, yang demikian termasuk tindakan pencurian dan tidaklah diperbolehkan secara syar'i dikarenakan pelakunya merasa kenyang dengan sesuatu yang tidak diberikan padanya dan juga pada tindakan yang demikian terdapat upaya penipuan serta pengkaburan agar disangka bahwasanya suatu perkataan tertentu atau pembahasan ilmiah tertentu merupakan hasil pemikirannya" [Al-Albani kama aroftuhu, hal. 74-75]


HUKUM TERHADAP PENCURI HADITS

Berkata Asy-Syaikh Badar Al-Badr :

ﻣﻦ ﺛﺒﺖ ﻋﻨﻪ ﺃﻧﻪ ﻳﺴﺮﻕ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﻄﻌﻦ ﻓﻲ ﻋﺪﺍﻟﺘﻪ ﻭﻻ ﻳﺤﺘﺞ ﺑﻪ ﻭﻳﺘﺮﻙ ﺣﺪﻳﺜﻪ 

"Barangsiapa yang telah tetap padanya, bahwa dia mencuri hadits maka menjadilah dia tercela/ majruh kredibilitasnya dan tidak dijadikan hujjah serta ditinggalkan " (faidah diambil dari silsilah fawaid mustholah beliau dalam situs alwaraqat.net)

Berkata Al-Hafidz As-Sam'aani :

من تعمد الإدراج فهو ساقط العدالة و ممن يحرف الكلم عن مواضعه فهو ملحق بالكذابين

"barangsiapa yang menyengaja melakukan idroj1 maka dia merupakan orang yang tercela kredibilitasnya termasuk orang yang telah memalingkan perkataan dari tempatnya maka dia dihukumi sebagaimana para pendusta " [Tadribur Rowi, jilid 1 hal. 322]

[1] berkata Ibnu Sholah dalam kitab baitsul hatsits menerangkan makna mudroj hal 104

أن تزاد لفظة في متن الحديث من كلام الراوي فيحسبها من يسمعها مرفوعة قي الحديث فيرويها كذلك

“Penambahan suatu lafadz pada matan/ teks hadits dari ucapan seorang perawi sehingga orang yang mendengar darinya menyangka bahwa lafadz tersebut termasuk teks hadits Rasulullah shollallahu ‘alayhi wa sallam, maka jadilah orang meriwayatkan dengan keaadaan tersebut.”

Berkata Ahmad Syakir dalam baitsul hatsis hal 109 -setelah menjelaskan bentuk-bentuk idroj/ penyisipan lafadz yang dilakukan oleh seorang perawi di luar teks hadits,

وأما ما كان من الراوي عن عمد فإنه حرام كله على إختلاف أنواعه بإتفاق أهل الحديث و الفقه و الأصول و غيرهم لما يتضمن من .التلبيس و التدليس و من عزو القول إلى غير قائله

"adapun tindakan yang demikian itu apabila muncul dari seorang perawi dengan sengaja maka sesungguhnya yang demikian itu harom seluruhnya dengan berbagai macam bentuknya dengan kesepakatan ahli hadits dan fiqih serta ahli ushul dan yang selain mereka dikarenakan apa yang terkandung dari perbuatan semacam itu berupa talbis / pengkaburan serta tadlis / penipuan dan juga termasuk menyandarkan ucapan kepada seorang yang tidak mengucapkannya"

Berkata asy-syaikh Abdurrahman Al-‘Adeni dalam pelajaran kitab baitsul hatsis bab almudroj :

أما إذا كان بغرض أن يظن أن هذه الكلمة من السند أو المتن فهو حرام لما فيه من نسبة الشيء إلى غير قائله و صاحبه يعتبر مجروح العدالة

"adapun apabila tindakan tersebut bertujuan agar disangka bahwasanya suatu kata atau lafadz termasuk bagian dari sanad atau teks hadits maka yang demikian adalah haram dikarenakan pada yang demikian termasuk menisbahkan sesuatu kepada selain pengucapnya, dan pelaku tindakan yang demikian itu teranggap majruh kredibilitasnya "

Berkata asy-syaikh Ahmad Al-Qodasi salah satu mustafid tersohor dalam bidang mustholah di Yaman yang juga merupakan guru dari syaikh Ali Rozihi dan Abul Abbas Yasin Al-Adeni dimana keduanya mempelajari beberapa kitab mustolah darinya, syaikh Ahmad berkata atas sebuah pertanyaan tentang hukum pencurian karya ilmiah dan mengakuinya atau memberikan pengkaburan kepada manusia bahwa suatu karya tertentu merupakan hasil karyanya :

فمن فعل مثل هذا فيدلنا على أن صاحبه ليس عنده الدين

"barangsiapa yang melakukan tindakan semacam itu maka hal tersebut menunjukkan kepada kita bahwa pelakunya tidaklah mempunyai bobot keagamaan"

Berkata Al-Imam An-Nawawi dalam penjelasannya terkait hadits

الدين النصيحة

"Agama itu adalah nasehat "

Dan termasuk dari nasehat adalah menyandarkan sebuah faidah yang asing bagimu kepada pengucapnya, maka barangsiapa yang melakukan itu maka dia telah diberkahi pada ilmunya dan keadaan dirinya dan barangsiapa yang memberikan pengkaburan agar disangka bahwa sebuah ucapan orang lain merupakan hasil pemikirannya, maka yang demikian adalah sangat layak untuk tidak diambil manfaat dari ilmunya dan tidak diberkahi keadaannya, dan ahli ilmu serta orang-orang yang memiliki kemuliaan senantiasa menyandarkan faidah-faidah kepada pengucapnya" [Bustanul 'Arifin, hal 16]

22 Jumadil Uwla 1436
Darul Hadits Al-Fiyusy


Thullabul Ilmi Yaman