'AL-MUJAAHID' HANI BIN BURAIK
MENGAGUNGKAN
PAKAR FILSAFAT KAFIR
Oleh: Abdul Mushowwir Bin Abdil Qadir Al-Jawi
Tidak tersembunyikan lagi bagi seorang muslim yang
memahami kedudukan sunnah dalam Islam bahwasanya tegar / tsabat di atas sunnah
merupakan perkara yang sangat agung dan mulia, oleh karena itu dahulu para
salaf begitu mengkhawatirkan ketergelinciran kaki mereka dari kemurnian agama
ini, Allah ta’ala berfirman,
رَبَّنَا
لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ
إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ
لَدُنْكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنْتَ
الْوَهَّابُ
(Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada
kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau karena sesungguhnya
Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)”. (QS: Ali
Imran: 8)
Begitu pula Rasulullah shalallahu alaihi wasallam
pun kerap mengulang-ulang do’a beliau,
[يا
مقلب القلوب ثبت قلبي
على دينك [ أخرجه الترمذي،
برقم 2140
“wahai Dzat yang membolak-balikkan hati teguhkanlah
hatiku di atas agamamu “ [HR. Tirimidzi]
Namun sangat disayangkan betapa para ahli bid’ah dan penyeru kesesatan tidak menyadari kadar keagungan tegar di atas sunnah, banyak kita dapati carut marut polah tingkah mereka dengan bergelimang di dalam syubhat-syubhat penyeru kesesatan, masih saja kita dapati keterjatuhan mereka dalam sebuah bid’ah kepada bid’ah lainnya yang lebih dahsyat, berpindah dari satu kesalahan kepada kesalahan yang lainnya, yang demikian itu salah satu sebabnya tak lain adalah karena pengaruh kuat dari tokoh-tokoh penyimpangan yang telah lama mengakar di dalam jiwa, serta penyakit hati yang mendera jiwa lama terpendam di dalam dada.
Telah berlalu dalam episode pertama dari tulisan
ini, sedikit penjelasan akan betapa bahayanya tindakan mengagungkan dan memuji
orang-orang yang menyimpang, memuji keilmuan mereka dalam bidang tertentu, juga
memuji akhlak dan adab mereka, perbuatan semacam itu merupakan sebuah bentuk
upaya pengkaburan secara terselubung guna menyisipkan manhaj muwazanat yang
bid’ah terhadap penyimpangan dan pelakunya bahkan terhadap orang-orang kafir
murtad, seperti inilah model ahli tamayyu’ gaya baru berstandart ganda.
Pun demikian masih saja orang-orang yang begitu
tergila-gila dengan sang syekh melakukan berbagai upaya pembelaan bertubi yang
semakin mengukuhkan standart ganda mereka dalam bermanhaj. Meskipun sang syekh
telah melakukan tindakan klarifikasi atas pengagungannya kepada para pakar filsafat
kafir tersebut, namun bagi seorang yang mau sedikit saja menalar banyak sekali
kejanggalan dalam konteks klarifikasi sang syekh dari pengagungan tersebut,
benarkah sang syekh telah bertaubat ?! Insyaallah akan kita kupas tuntas pada
artikel yang lain di kesempatan berikutnya, pun begitu jika memang anggaplah
taubat tersebut benar adanya, maka disana masih tersisa beberapa catatan kaki
mengenai kiprah sang syekh yang diper’syekh’kan secara mendadak menggunakan
senyawa kimia dengan rumus kimia ‘cac2’.
Banyak dan seringnya sang syekh tergelincir dalam kesalahan membuat umat
menjadi meragukan kapasitasnya dalam mengemban tonggak dakwah salafiyyah,
terlebih lagi untuk dinaik pangkatkan sebagai rujukan. Lebih dari itu,
perkaranya tidaklah sebatas pada bersegeranya rujuk dari kesalahan ataukah
tidak, tidak diragukan lagi bahwa hal tersebut merupakan perkara yang patut
disyukuri, namun tahdzir atasnya tetap harus ditegakkan demi penjagaan terhadap
agama dan umat agar tidak memilih kucing dalam karung, oleh sebab itu dahulu
para ulama jarh wa ta’dil dengan
sigap menyibak segala hal yang membahayakan kemurnian sebuah ilmu dengan
menjelaskan sosok pembawa ilmu tersebut yang dikenal dalam istilah sebagai, perawi hadits.
Sebelum para pembaca memasuki inti bab ada baiknya
mari kita simak penjelasan para ‘Ulama mengenai aturan-aturan syar’i dalam
mengambil ‘ilmu dari seorang guru/ pengajar
Syaikhul Islam dalam ilmu mustholah, al-hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani menyebutkan di
dalam risalahnya berjudul “nukhbatul fikr”
bahwa sebab ditolaknya sebuah riwayat berporos kepada dua permasalahan,
ثم
المردود إما أن يكون
لسقط أو طعن
- Sebab pertama adalah terputusnya sanad
- Sebab kedua adalah adanya tho’n/ celaan yang terdapat pada seorang perawi
الطعن
إما أن يكون لكذب
الراوي أو تهمته بذلك
أو فحش غلطه أو
غفلته أو فسقه أو
وهمه أو مخالفته أو
جهالته أو بدعته أو
سوء حفظه
Kemudian beliau merinci bahwa sebab dicelanya
seorang perawi berkutat pada sepuluh perkara yang salah satunya adalah fuhsy gholat (banyak kekeliruan)
روى
الخطيب البغدادي عن عبد الرحمن
بن مهدي أنه كان
لا يترك حديث رجل
إلا رجلاً متهماً بالكذب
أو رجلاً الغالب عليه
الغلط
“Al-Khotib Al-Baghdadi meriwayatkan dari
‘Abdurrahman bin Mahdi bahwasanya beliau dahulu tidaklah meninggalkan mengambil
periwayatan hadits dari seseorang kecuali terhadap seorang yang tertuduh
berdusta atau seorang yang banyak kekeliruannya “
Dan termasuk pula dalam hukum tersebut seorang
perawi yang sedikit kekeliruannya namun tatkala terjatuh dalam kekeliruan dia
terjatuh dalam jenis kekeliruan yang fatal yang menunjukkan betapa sedikitnya
kapasitas keilmuannya (dhobtnya)
Permisalah yang demikian itu adalah apa yang
terjadi pada seorang perawi bernama aiman bin naabil,diriwayatkan di dalam
kitab -sualaat al-hakim lid daruqhutni-,
قلت:
(فأيمن بن نابل)،
قَالَ: لَيْسَ بِالْقَوِيّ خَالف
النَّاس، وَلَو لم يكن
إِلَّا حَدِيث التَّشَهُّد(13)خَالفه
اللَّيْثُ وَعَمْرو بن الْحَارِث وزَكَرِيا
بن خَالِد عَن أبي
الزبير
Berkata Al-Hakim : ”aiman bin naabil ?, maka Ad-Daruqhutni menjawab, ‘dia tidaklah
kokoh, menyelisihi riwayat orang-orang, meskipun itu hanya pada hadits tentang tasyahud, al-layts dan Amr bin al-Harits dan Zakariya bin Kholid meriwayatkan dari Abu Zubair’.”
Berkata Ibnu Sholah dalam muqoddimahnya :
يُعْرَفُ
كَوْنُ الرَّاوِي ضَابِطًا بِأَنْ نَعْتَبِرَ رِوَايَاتِهِ
بِرِوَايَاتِ الثِّقَاةِ الْمَعْرُوفِينَ بِالضَّبْطِ وَالْإِتْقَانِ، فَإِنْ وَجَدْنَا رِوَايَاتِهِ
مُوَافِقَةً – وَلَوْ مِنْ حَيْثُ
الْمَعْنَى – لِرِوَايَاتِهِم ْ، أَوْ مُوَافِقَةً
لَهَا فِي الْأَغْلَبِ وَالْمُخَالَفَة
ُ نَادِرَةُ، عَرَفْنَا
حِينَئِذٍ كَوْنَهُ ضَابِطًا ثَبْتًا، وَإِنْ وَجَدْنَاهُ كَثِيرَ
الْمُخَالَفَةِ لَهُمْ، عَرَفْنَا اخْتِلَالَ
ضَبْطِهِ، وَلَمْ نَحْتَجَّ بِحَدِيثِهِ،
وَاللَّهُ أَعْلَمُ
“dapat diketahui apakah seorang perawi itu dia dhobith ataukah tidak dengan
membandingkan periwayatan dia dengan riwayat orang-orang yang tsiqoh lagi
terpercaya yang dikenal dengan dhobith
dan kekuatan hafalannya, maka jika kita dapati riwayat seorang perawi mencocoki
riwayat para perawi yang tsiqoh lagi
terpercaya meskipun dari sisi makna atau mencocoki dalam banyak periwayatan,
dan penyelisihannya sangat jarang, maka dapat kita ketahui bahwa perawi
tersebut dhobit kokoh, namun apabila
kita dapati perawi tersebut banyak menyelisihi perawi yang lebih tsiqoh lagi
terpercaya maka dapat kita ketahui kacaunya hafalan dia, dan yang demikian
keadaannya kita tidak berhujjah dengan ilmunya “
PUJIAN &
PENGAGUNGAN ‘Al-MUJAAHID’ HANI BIN BURAIK KEPADA 2 TOKOH BAPAK FILSAFAT DUNIA
'Al-Mujaahid' Hani bin Buraik berkata dengan lantang dalam
sebuah muhadhorohnya bertajuk “keadilan bagi barat” [dengarkan disini] memuji serta mengagungkan
dua bapak filsafat dunia Al-Farobiy dan Jabir bin Hayyan yang telah dikafirkan
oleh beberapa ulama,
لو
ترجع إلى كل العلوم
فيزياء, كيمياء, أحياء, بصريات,
الطب ستجد أقطابها الأولون
هم المسلمون. ترجمت كتبنا إلى
لغاتهم بل إنّ بعض
النظريات ما استطاعوا أن
يبعدوا اسم العالم المسلم
منها. جابر بن حيان
و الفارابي….. هؤلاء
وإن كنا عندنا بعض
الملحوظات على عقائدهم لكن
… هم من المسلمين محسوبون
على الإسلام وكانت علومهم
من العلوم الدنيوية هي
جذوة أو الشرارة الأولى
التي بنى عليها العالم.
أجمع هذه الحضارة العلمية
و التقنية المعاصرة
“jika engkau melihat ke masa lalu dari
setiap ilmu-ilmu fisika, kimia, biologi, optik, kedokteran maka akan kau dapati
bahwa pencetus awal mereka adalah para muslimun, kitab-kitab kita diterjemahkan
ke dalam bahasa-bahasa mereka (barat), bahkan sebagian dari ilmuwan riset tidak
mampu untuk menjauhkan nama seorang alim muslim dari penelitian mereka, Jabir
bin Hayyan dan Al-Farobiy... Mereka meskipun kami memiliki beberapa catatan
terkait aqidah keduanya, namun mereka termasuk kaum muslimin dan teranggap
ahlul islam“
‘Al-Mujaahid’ Hani bin Buraik seorang tokoh yang
beberapa tahun ini begitu banyak mencuri perhatian dunia per-salafi-an dengan
keberaniannya yang luar biasa dalam menyentak kepada “manhaj” seorang yang
tampak dari beberapa polah tingkahnya seakan membuat kita berdecak kagum,
seorang yang tampak begitu membenci penyimpangan hizbiyyah dan ahli bid’ah, tak
diduga tak dinyana telah menganggap dua tokoh papan atas per-filsafat-an dunia
yang telah divonis kafir oleh banyak dari ulama sebagai seorang muslim serta
menganggap enteng kesalahan keduanya dalam permasalahan aqidah yang sangat
berbahaya dengan sebuah ungkapan terhadap keduanya,
هؤلاء وإن كنا
عندنا
بعض
الملحوظات
على
عقائدهم
لكن
… هم
من
المسلمين
محسوبون
على
الإسلام
“mereka meskipun kami memiliki beberapa
catatan terkait aqidah keduanya, namun mereka termasuk kaum muslimin dan
teranggap ahlul islam“
Kemudian setelah itu ‘Al-Mujaahid’ Hani bin Buraik
memuji keduanya dan membanggakan mereka atas sumbangsih serta jasa besar mereka
terhadap umat manusia dalam dunia ilmu pengetahuan, dengan pernyataannya dalam
sebuah muhadhoroh,
وكانت علومهم من
العلوم
الدنيوية
هي
جذوة
أو
الشرارة
الأولى
التي
بنى
عليها
العالم.
أجمع
هذه
الحضارة
العلمية
و
التقنية
المعاصرة
“dan
dahulu keilmuan mereka dalam urusan duniawi termasuk yang terdepan dan
merupakan percikan pertama yang alam ini dibangun di atasnya, telah bersepakat
dunia ilmu pengetahuan dan inovasi modern atas hal tersebut ” [kaset : “keadilan pada barat”]
SIAPAKAH
AL-FAROBI DAN JABIR BIN HAYYAN
Siapakah Al-Farobi dan Jabir bin Hayyan yang
jatidiri aslinya sengaja disembunyikan oleh ‘Al-Mujaahid’ Hani bin Buraik dalam
ceramahnya, sehingga dengan sebab itu tak sedikit manusia yang tersesatkan
darinya ?!
1. Al-Farobi
Al-Farobi dia adalah Abu Nasr Muhammad Al-Farobi,
lahir pada tahun 260 H bertepatan dengan tahum 874 M dan wafat tahun 339 H/ 950
M.
Perkataan ulama tentangnya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
“وقد ذكر عبد
اللطيف بن يوسف أن
الفارابي كان قد تعلق
بالفلسفة في بلاده فلما
دخل حران وجد بها
من الصابئة من أحكمها
عليه و ابن سينا
إنما حذق فيها بما
وجده من كتب الفارابي
فهؤلاء و أتباعهم حقيقة
قولهم هو قول الصابئة
المشركين الذين هم شر
من مشركي العرب وهؤلاء
عند من لا يقبل
الجزية إلا من أهل
الكتاب لا تؤخذ منهم
الجزية إلا أن يدخلوا
في دين أهل الكتاب
– الرد على البكري
“sungguh ‘Abdul Latif bin Yusuf telah menyebutkan
bahwasanya Al-Farobi sangat terpengaruh dan bergantung dengan ilmu filsafat di
negerinya, maka tatkala dia pindah ke negeri Hirron dia mendapati bahwa
penganut aliran as-shobiah (salah
satu sekte nasrani) telah menisbahkan ilmu filsafat kepadanya, adapun Ibnu Sina
hanyalah sekedar mempelajari ilmu filsafat yang dia dapati dari kitab-kitab Al-Farobi
(karena di negeri Hirron penduduknya lebih mengenal ilmu filsafat dari sosok Ibnu
Sina, sedangkan dia sebenarnya banyak mempelajari dan mengambil ilmu filsafat
justru dari kitab-kitab Al-Farobi), maka mereka (Al-Farobi, Ibnu Sina dan para
ahli filsafat) pada hakekatnya madzhab mereka adalah madzhab penganut aliran
as-shobiah yang musyrik dimana
mereka itu lebih jelek dari kaum musyrikin arab, dan keberadaan mereka disisi
pendapat yang menyatakan bahwa tidaklah diterima jizyah (pajak) melainkan dari kalangan ahli kitab, maka tidaklah
diambil dari mereka jizyah (bahkan
diperangi) kecuali sampai mereka masuk ke agama ahli kitab ” [rod ‘alal bakri]
Dan beliau rahimahullah
juga berkata, menukil perkataan Al-Farobi :
إنَّ
الْوِلَايَةَ أَعْظَمُ مِنْ النُّبُوَّةِ كَمَا
يَقُولُ كَثِيرٌ مِنْ الْفَلَاسِفَةِ
: إنَّ الْفَيْلَسُوفَ أَعْظَمُ مِنْ النَّبِيِّ ؛
فَإِنَّ هَذَا قَوْلُ الْفَارَابِيِّ
“sesungguhnya kedudukan wali itu lebih agung
daripada kenabian, sebagaimana kebanyakan dari ahli filsafat berpendapat dengannya
sebagaimana perkataan Al-Farobi; sesungguhnya ahli filsafat itu lebih agung
daripada seorang Nabi [majmu’ al-fatawa]
وقال
أيضا ( وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ : يَجُوزُ
الْكَذِبُ لِمَصْلَحَةِ رَاجِحَةٍ وَالْأَنْبِيَاءُ فَعَلُوا ذَلِكَ وَمِنْهُمْ مَنْ
يَقُولُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ بَلْ هَذِهِ تَخَيُّلَاتٌ
وَأَمْثِلَةٌ مَضْرُوبَةٌ لِتَقْرِيبِ الْحَقَائِقِ إلَى قُلُوبِ الْعَامَّةِ
وَهَذِهِ طَرِيقَةُ الْفَارَابِيِّ وَابْنِ سِينَا ؛
لَكِنْ ابْنُ سِينَا أَقْرَبُ
إلَى الْإِيمَانِ مِنْ بَعْضِ الْوُجُوهِ
“Dan beliau rahimahullah
berkata, ‘dan diantara mereka (orang-orang filsafat) menyatakan bolehnya
berdusta demi suatu maslahat yang pasti, dan itulah metode yang telah ditempuh
oleh para Nabi (dalam berdakwah), bahkan seluruh dakwah nabi merupakan bentuk
pengkhayalan belaka, serta penggambaran dalam bentuk permisalan untuk
mendekatkan pemahaman sesuai alam nyata kepada hati umat secara umum, dan yang
di atas metode yang demikian itulah Al-Farobi dan Ibnu Sina berjalan. Namun Ibnu
Sina lebih dekat kepada iman dari beberapa sisi (dibanding Al-Farobi).
Ibnul Ma’ad rahimahullah
dalam syadzrotidz dzahab mengatakan,
وقال
ابن العماد في شذرات
الذهب [2/353] : أكثر
العلماء على كفره وزندقته
حتى قال الإمام الغزالي
في كتابه “المنقذ من
الضلال” : لا شك في
كفرهما أي الفارابي وابن
سينا
“kebanyakan para ulama berpendapat atas kafir dan
zindiqnya al-farobi, bahkan Al-Imam Al-Ghazali dalam kitabnya -al-munqidz minad dolal- menyatakan:
‘tidak diragukan sedikitpun atas kekufuran keduanya yaitu Al-Farobi dan Ibnu
Sina”
Al-Ghazali dengan segudang kebid’ahannya, namun
dalam perkara ini telah tepat dalam mendudukan kedudukan al-farobi dan ibnu
sina di atas kekafiran.
Dan dinukilkan pula dari Al-Ghazali bahwa dia
mengatakan :
“seluruh kesalahan yang para ahli filsafat yang
menisbahkan diri mereka pada islam (padahal islam baro’ dari mereka) diantara
mereka al-farobi dan ibnu sina maka berkutat pada dua puluh pokok keyakinan,
yang tiga diantaranya mengharuskan pengkafiran kepada mereka sedangkan tujuh
belasnya mengharuskan pentabdi’an terhadap mereka”
Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata tentang Al-Farobi,
كان على طريقة
سلفه : من الكفر بالله
تعالى وملائكته وكتبه ورسله واليوم
الآخر فكل فيلسوف لا
يكون عند هؤلاء كذلك
فليس بفيلسوف في الحقيقة
وإذا رأوه مؤمنا بالله
وملائكته وكتبه ورسله ولقائه
متقيدا بشريعة الإسلام نسبوه
إلى الجهل والغباوة إغاثة
اللهفان من مصائد الشيطان
“dia di atas jalan salafnya (yaitu tokoh filsafat
yunani arsetoteles) berupa kafir kepada allah dan malaikatnya dan
kitab-kitabnya dan rasul-rasulnya serta hari akhir, maka setiap ahli filsafat
berpendapat barangsiapa yang tidak mengkufuri rukun iman tersebut maka dia
bukanlah seorang ahli filsafat sejati, dan apabila mereka mendapati seseorang
beriman kepada allah dan malaikatnya dan kitab-kitabnya dan beriman terhadap
pertemuan dengan allah di hari akhir berprinsip dengan syariat islam seketika
mereka mensifatinya dengan jahil dan dungu” [ighotsatul laghfan]
Asy-syekh al-mujaddid abdurrahman bin hasan dalam
kitab -misbah ad-dholam- dan -addurorus sunniyah- tentang Al-Farobi,
أنه من دعاة
المشركين
“dia termasuk penyeru kesyirikan”
أنه عربت كتب
الفلاسفة اليونانية القبورية الوثنية، وعكف عليها كثير
ممن تفلسفوا في الإسلام،
أمثال الفارابي الكافر، وابن سينا
……. وغيرهم ممن لعبوا بالإسلام
كما لعب بولس بالنصرانية
* الموسوعة العقدية – الدرر السنية
“dia telah menterjemahkan kitab-kitab filsafat
yunani penyembah kubur dan berhala ke dalam bahasa arab, dan dengan sebab itu
banyak dari manusia yang akhirnya terpengaruh dengan ilmu filsafat islam,
semisal Al-Farobi yang kafir dan Ibnu Sina…… dan selain mereka dari golongan
orang-orang yang bermain-main dalam Islam sebagaimana Paulus bermain-main pada
agama nashara”
Adapun tiga permasalahan yang berkonsekwensi
pengkafiran terhadap keduanya adalah,
“Sesungguhnya
jazad ini tidaklah dibangkitkan, namun yang dibangkitkan hanyalah ruh,
Sesungguhnya
allah hanya mengetahui seluruh perkara secara umum tanpa mengetahuinya secara
terperinci,
Sesungguhnya
alam semesta ini tidak ada permulaan dan tidak pula berakhir
Berikut ini
bantahan kibar ulama ahlus sunnah terhadap orang-orang yang memasukkan
al-farobi dan ibnu sina dalam lingkaran islam.”
Al-‘Allamah Muhammad Aman Al-Jami' [disini]
2. Jabir bin Hayyan
Dia adalah Jabir bin Hayyan bin ‘Abdillah pakar
ilmu kimia dan perbintangan dan pertambangan dan filsafat dilahirkan pada tahun
101 H bertepatan tahun 721 M
Perkataan ahlu ilmi tentangnya,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,
وَأَمَّا جَابِرُ بْنُ حَيَّانَ
صَاحِبُ الْمُصَنَّفَاتِ الْمَشْهُورَةِ عِنْدَ الْكِيمَاوِيَّةِ فَمَجْهُولٌ
لَا يُعْرَفُ وَلَيْسَ لَهُ ذِكْرٌ بَيْنَ
أَهْلِ الْعِلْمِ وَلَا بَيْنَ أَهْلِ
الدِّينِ
“adapun Jabir bin Hayyan dia adalah seorang penulis
yang terkenal dalam bidang ilmu kimia, majhul tidak dikenal dikalangan ahlu
ilmu tidak pula dikalangan ahli agama ” [fatawa
ibnu taimiyyah ]
Berkata asy-syaikh Ihsan Ilahi Dzohir rahimahullah,
جابر
بن حيان , وهو صاحب
كيمياء شيعي
“Jabir bin Hayyan pakar kimia beraqidah syi’ah”
==============
Wahai pembaca sekalian, Al-Imam Muhammad bin Abdil
Wahab rahimahullah dalam risalahnya
yang berjudul nawaqid al-islam dalam
poin pembatal yang ketiga menyatakan,
من لم يكفر
المشركين أو شك في
كفرهم أو صحح مذهبهم
كفر
“barangsiapa yang tidak mengkafirkan kaum musyrikin
atau ragu terhadap kekafiran mereka atau membenarkan mazhab mereka maka dia
kafir”
Asy-syaikh 'Abdul 'Aziz bin Baz rahimahullah berkata,
ومن لم يكفر
الكافر فهو مثله إذا
أقيمت عليه الحجة وأبين
له الدليل فأصر على
عدم التكفير , كمن لا يكفر
اليهود أ والنصارى أو
الشيوعيين أو نحوهم ممن
كفره لا يلتبس على
من له أدنى بصيرة
وعلم ) مجموع فتاوى ابن
باز /
“barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang kafir
maka dia semisal dengannya, jika telah ditegakkan padanya hujjah dan dijelaskan
padanya dengan dalil kemudian dia tetap dalam pendiriannya dengan tidak
mengkafirkan orang kafir, seperti seorang yang tidak mengkafirkan yahudi atau
nasrani atau komunis atau yang semisal mereka yang kekufuran tidaklah
tersamarkan bagi seorang yang sedikit saja memiliki pengetahuan terhadap agama
” [majmu’ al-fatawa]
Maka sungguh benar sabda Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam,
إن
الله لا يقبض هذا
العلم انتزاعاً ينتزعه من صدور
الناس ولكن بقبض العلماء
حتى إذا لم يبقِ
عالماً اتخذ الناس رؤوساً جهالاً فأفتوا بغير علم
فضلوا وأضلوا - رواه البخاري ومسلم
عن عبد الله بن
عمرو رضي الله عنهما
“sesungguhnya
Allah itu tidak akan mencabut ilmu agama dengan seketika dari dada manusia,
namun dengan cara mematikan orang-orang yang berilmu. Sehingga jika Allah tidak
lagi menyisakan seorang pun yang berilmu maka manusia mengangkat para pemimpin
dalam agama dari kalangan orang-orang yang bodoh. Para pemimpin tersebut
mengeluarkan fatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan orang lain” (HR. Bukhari
dan Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu
‘anhu).
Dan sebagai penutup risalah ini ada baiknya kita
kembali menilik, petuah bijak dari ‘Al-Mujaahid’ Hani bin Buraik tatkala
mewasiatkan kepada umat ;
".'قال: 'أمثل هذا يؤتمن على
دين؟ أمثل هذا يؤتمن
على تعليم طلاب علم؟
أمثل هذا نؤمن أطفالنا
وأبناءنا عليه“
Apakah terhadap yang semisal ini agama dipercayakan
?!
Apakah terhadap yang semisal ini pendidikan para
thulabul ilmi dipercayakan ?!
Apakah terhadap yang semisal ini kita percayakan
anak-anak kita kepadanya ?!
sumber bacaan :
Majmu’ Al-Fatawa
Syaikhul Islam
Siyar A’lamin
Nubala
Risalah Al-Akh
Abu Abdillah Abdul Basith Al-‘Adeni
Beberapa literatur
Lainnya
18 Rabiul Awwal 1436 H
Ma’had As-Salafy Republik Yaman
Thullabul Ilmi Yaman