DUA JUBAH KEDUSTAAN
ABU UBAIDAH IQBAL
BERLABEL PEMBAHASAN
ILMIAH [2]
Oleh: Abu Usamah Adam bin Sholih bin
Ubaid Al-Bajani Alu Iskandar Alam
الحمد لله و الصلاة و السلام على رسول الله وأشهد ألا إله إلا الله و أشهد أن محمدا عبده ورسوله أما بعد
Telah berlalu pada tulisan sebelumnya tentang bukti otentik kepalsuan
sosok Abu Ubaidah Iqbal bin Damiri Al-Jawy dalam "pembahasan
ilmiahnya", bagaimanakah syariat meninjau perbuatan semacam itu dan
bagaimanakah penjelasan salaf terhadap tindakan rendah semacam itu ?! Mari kita
bahas secara ringkas dalam keterbatasan waktu dan tempat.
Wahai ikhwah sekalian yang semoga dimuliakan Allah,
Allah subhanahu wa ta'ala
berfirman,
ﻻَ ﺗَﺤْﺴَﺒَﻦَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﻔْﺮَﺣُﻮﻥَ ﺑِﻤَﺎ ﺃَﺗَﻮﺍْ ﻭَّﻳُﺤِﺒُّﻮﻥَ ﺃَﻥ ﻳُﺤْﻤَﺪُﻭﺍْ ﺑِﻤَﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﻔْﻌَﻠُﻮﺍْ ﻓَﻼَ ﺗَﺤْﺴَﺒَﻨَّﻬُﻢْ ﺑِﻤَﻔَﺎﺯَﺓٍ ﻣِّﻦَ ﺍﻟْﻌَﺬَﺍﺏِ ﻭَﻟَﻬُﻢْ ﻋَﺬَﺍﺏٌ ﺃَﻟِﻴﻢٌ
"Janganlah sekali-kali kamu menyangka, bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah. Mereka raih dan mereka senang supaya dipuji terhadap perbuatan yang tidak mereka kerjakan, janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih" (QS.Ali
Imran 188)
Al-Imam Al-Baghowi rahimahullah
menukilkan dalam tafsirnya sebuah perkataan dari 'Ikrimah, "bahwasanya ayat di
atas turun berkaitan dengan seorang bernama Finhas dan Asy'a dan selain
keduanya dari kalangan orang sholih, bahwasanya mereka merasa senang atas
penyesatan mereka terhadap manusia, serta persangkaan manusia berupa penisbahan
terhadap mereka akan keilmuan padahal mereka sebenarnya bukan termasuk
orang-orang yang berilmu.
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah
berkata dalam tafsirnya, "yang dimaksud pada ayat di atas adalah orang-orang yang riya'
yang memperbanyak dirinya dengan sesuatu yang tidak dia miliki, sebagaimana
datang dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim bahwasanya
Rasulullah sholallaahu ‘alayhi wa sallam
bersabda,
ﻣﻦ ﺍﺩﻋﻰ ﺩﻋﻮﻯ ﻛﺎﺫﺑﺔ ﻟﻴﺘﻜﺜﺮ ﺑﻬﺎ ﻟﻢ ﻳﺰﺩﻩ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻻ ﻗﻠﺔ
“barangsiapa mengaku dengan
pengakuan dusta dalam rangka untuk memperbanyak diri dengan pengakuan tersebut
maka Allah tidaklah akan menambahkan kepadanya melainkan kesedikitan”
Dan di dalam hadits yang lain Rasulullah sholallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
ﺍﻟﻤﺘﺸﺒﻊ ﺑﻤﺎ ﻟﻢ ﻳﻌﻂ ﻛﻼﺑﺲ ﺛﻮﺑﻲ ﺯﻭﺭ
“orang yang merasa kenyang dengan sesuatu yang tidak dimilikinya
bagaikan seorang yang mengenakan dua pakaian kedustaan”
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah
berkata :
ﻷﻧﻪ ﻛﺬﺏ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻪ ﺑﻤﺎ ﻟﻢ ﻳﺄﺧﺬ ، ﻭﻋﻠﻰ ﻏﻴﺮﻩ ﺑﻤﺎ ﻟﻢ ﻳُﻌﻂِ ، ﻭﻛﺬﻟﻚ ﺷﺎﻫﺪ ﺍﻟﺰﻭﺭ ، ﻳﻈﻠﻢ ﻧﻔﺴﻪ ، ﻭﻳﻈﻠﻢ ﺍﻟﻤﺸﻬﻮﺩ ﻋﻠﻴﻪ
"-maksud mengenakan dua jubah kedustaan- Dikarenakan dia telah
berdusta terhadap dirinya sendiri terhadap sesuatu yang tidak diraihnya dan
berdusta terhadap orang lain dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya
" [Fathul Bari jilid 9 hal 318]
Tindakan yang demikian di dalam bidang ilmu mustholah hadits lebih
dekat kepada permasalahan sirqotul hadits / pencurian hadits, walaupun ulama
ahli hadits memaksudkan istilah sirqotul hadits kepada makna yang lebih khusus.
Pencurian terhadap sebuah riwayat memiliki beberapa bentuk :
Al-Imam As-Sakhowi dalam fathul
mughits mengatakan setelah sebelumnya beliau menjelaskan tentang tingkatan
jarh, beliau menempatkan pencuri hadits
pada tingkatan yang ketiga dalam jajaran para pendusta, kemudian beliau menukil
ucapan Al-Imam Adz-Dzahabi
ﻭﻟﻴﺲ ﻛﺬﻟﻚ ﻣﻦ ﻳﺴﺮﻕ ﺍﻷﺟﺰﺍﺀ ﻭﺍﻟﻜﺘﺐ ﻓﺈﻧﻬﺎ أﻧﺤﺲ ﺑﻜﺜﻴﺮ ﻣﻦ ﺳﺮﻕ ﺍﻟﺮﻭﺍﺓ
"Dan bukanlah yang dimaksud dengan pencurian hadits (dalam
istilah mustholah) yaitu orang yang mencuri lembaran maupun kitab-kitab karena
sesungguhnya yang demikian itu lebih parah dibanding pencurian para perawi
(mencuri hadits, dalam istilah mustholah) "
Berkata Ustadz 'Ishom Hadi :
ﻟﻤﺎ ﻛﺜﺮ ﺍﻟﻠﻐﻂ ﺣﻮﻝ ﻣﺎ ﻳﻔﻌﻠﻪ ﺑﻌﺾ ﺇﺧﻮﺍﻧﻨﺎ ﻣﻦ ﻧﻘﻞ ﻟﻜﻼﻡ ﺩﻭﻥ ﺃﻥ ﻳﻌﺰﻭ ﺫﻟﻚ ﺇﻟﻴﻬﻢ، ﺳﺄﻟﺖ ﺷﻴﺨﻨﺎ ﻫﻞ ﻫﺬﻩ ﺳﺮﻗﺔ ﺃﻡ ﻻ ؟
.ﻓﻘﺎﻝ ﺷﻴﺨﻨﺎ : ﻧﻌﻢ ﻫﻮ ﺳﺮﻗﺔ ، ﻭﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺷﺮﻋﺎً ؛ ﻷﻧﻪ ﺗﺸﺒّﻊ ﺑﻤﺎ ﻟﻢ ﻳﻌﻂ ، ﻭﻓﻴﻪ ﺗﺪﻟﻴﺲ ﻭﺇﻳﻬﺎﻡ ﺃﻥ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﺃﻭ ﺍﻟﺘﺤﻘﻴﻖ ﻣﻦ ﻛﻴﺲ ﻋﻠﻤﻪ.
"tatkala banyak terjadi perbincangan terkait apa yang dilakukan
para ikhwah kita berupa menukil sebuah perkataan tanpa menyandarkannya kepada
pengucapnya, aku bertanya kepada syaikhuna -asy-syaikh Al-Albani- apakah
tindakan yang demikian termasuk sebuah pencurian ataukah tidak ?
Maka asy-syaikh Al-Albani rahimahullah
menjawab :
“Ya, yang demikian termasuk tindakan pencurian dan tidaklah
diperbolehkan secara syar'i dikarenakan pelakunya merasa kenyang dengan sesuatu
yang tidak diberikan padanya dan juga pada tindakan yang demikian terdapat
upaya penipuan serta pengkaburan agar disangka bahwasanya suatu perkataan
tertentu atau pembahasan ilmiah tertentu merupakan hasil pemikirannya" [Al-Albani kama aroftuhu, hal. 74-75]
HUKUM TERHADAP PENCURI HADITS
Berkata Asy-Syaikh Badar Al-Badr :
"Barangsiapa yang telah tetap padanya, bahwa dia mencuri hadits
maka menjadilah dia tercela/ majruh
kredibilitasnya dan tidak dijadikan hujjah serta ditinggalkan " (faidah
diambil dari silsilah fawaid mustholah beliau dalam situs alwaraqat.net)
Berkata Al-Hafidz As-Sam'aani :
من تعمد الإدراج فهو ساقط العدالة و ممن يحرف الكلم عن مواضعه فهو ملحق بالكذابين
"barangsiapa yang menyengaja melakukan idroj1 maka dia merupakan orang yang tercela
kredibilitasnya termasuk orang yang telah memalingkan perkataan dari tempatnya
maka dia dihukumi sebagaimana para pendusta " [Tadribur Rowi, jilid 1 hal. 322]
[1] berkata Ibnu Sholah dalam kitab baitsul hatsits
menerangkan makna mudroj hal 104
أن تزاد لفظة في متن الحديث من كلام الراوي فيحسبها من يسمعها مرفوعة قي الحديث فيرويها كذلك
“Penambahan suatu lafadz
pada matan/ teks hadits dari ucapan
seorang perawi sehingga orang yang mendengar darinya menyangka bahwa lafadz
tersebut termasuk teks hadits Rasulullah shollallahu
‘alayhi wa sallam, maka jadilah orang meriwayatkan dengan keaadaan tersebut.”
Berkata Ahmad Syakir dalam baitsul hatsis hal 109 -setelah menjelaskan
bentuk-bentuk idroj/ penyisipan lafadz
yang dilakukan oleh seorang perawi di luar teks hadits,
وأما ما كان من الراوي عن عمد فإنه حرام كله على إختلاف أنواعه بإتفاق أهل الحديث و الفقه و الأصول و غيرهم لما يتضمن من .التلبيس و التدليس و من عزو القول إلى غير قائله
"adapun tindakan yang demikian itu apabila muncul dari seorang
perawi dengan sengaja maka sesungguhnya yang demikian itu harom seluruhnya
dengan berbagai macam bentuknya dengan kesepakatan ahli hadits dan fiqih serta
ahli ushul dan yang selain mereka dikarenakan apa yang terkandung dari
perbuatan semacam itu berupa talbis / pengkaburan serta tadlis / penipuan dan
juga termasuk menyandarkan ucapan kepada seorang yang tidak mengucapkannya"
Berkata asy-syaikh Abdurrahman Al-‘Adeni dalam pelajaran kitab baitsul hatsis bab almudroj :
أما إذا كان بغرض أن يظن أن هذه الكلمة من السند أو المتن فهو حرام لما فيه من نسبة الشيء إلى غير قائله و صاحبه يعتبر مجروح العدالة
"adapun apabila tindakan tersebut bertujuan agar disangka
bahwasanya suatu kata atau lafadz termasuk bagian dari sanad atau teks hadits
maka yang demikian adalah haram dikarenakan pada yang demikian termasuk
menisbahkan sesuatu kepada selain pengucapnya, dan pelaku tindakan yang
demikian itu teranggap majruh kredibilitasnya "
Berkata asy-syaikh Ahmad Al-Qodasi salah satu mustafid tersohor dalam
bidang mustholah di Yaman yang juga merupakan guru dari syaikh Ali Rozihi dan
Abul Abbas Yasin Al-Adeni dimana keduanya mempelajari beberapa kitab mustolah
darinya, syaikh Ahmad berkata atas sebuah pertanyaan tentang hukum pencurian karya
ilmiah dan mengakuinya atau memberikan pengkaburan kepada manusia bahwa suatu
karya tertentu merupakan hasil karyanya :
فمن فعل مثل هذا فيدلنا على أن صاحبه ليس عنده الدين
"barangsiapa yang melakukan tindakan semacam itu maka hal
tersebut menunjukkan kepada kita bahwa pelakunya tidaklah mempunyai bobot
keagamaan"
Berkata Al-Imam An-Nawawi dalam penjelasannya terkait hadits
الدين النصيحة
"Agama itu adalah nasehat "
Dan termasuk dari nasehat adalah menyandarkan sebuah faidah yang asing
bagimu kepada pengucapnya, maka barangsiapa yang melakukan itu maka dia telah
diberkahi pada ilmunya dan keadaan dirinya dan barangsiapa yang memberikan
pengkaburan agar disangka bahwa sebuah ucapan orang lain merupakan hasil
pemikirannya, maka yang demikian adalah sangat layak untuk tidak diambil
manfaat dari ilmunya dan tidak diberkahi keadaannya, dan ahli ilmu serta
orang-orang yang memiliki kemuliaan senantiasa menyandarkan faidah-faidah
kepada pengucapnya" [Bustanul
'Arifin, hal 16]
22 Jumadil Uwla 1436
Darul Hadits Al-Fiyusy
Thullabul Ilmi Yaman